Posts Tagged ‘Bromo’

h1

Sekilas dan sejarah Gunung BROMO

9 Desember 2010

Bromo Eruption

Letusan Minor si Bromo Kecil

Marufinsudibyo| 29 November 2010 | 15:32

Sohib saya paklik Dirmawan sang geolog senior sekaligus dukunnya pertanggulan sungai-sungai di Jawa Tengah suatu ketika pernah berkelakar: jebulnya ndhak hanya panu atau pathek, lha wong gunung njebluk saja ya bisa nular.

Kita yang awam mungkin akan tercengang kala menyaksikan betapa setelah letusan Merapi, beberapa gunung berapi juga menunjukkan adanya peningkatan aktivitas seperti Bromo, Anak Krakatau dan Batur. Namun jika melihat rilis Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dari tahun ke tahun sebenarnya tak perlu kaget. Sebagai negara luas yang memiliki 129 gunung berapi aktif dan tergolong lebih dari sepertiga populasi gunung berapi aktif di Bumi, setiap tahun secara rata-rata 15 – 20 gunung berapi Indonesia memiliki aktivitas di atas normal (entah berstatus waspada, siaga maupun awas). Maka jika tahun 2010 ini Gunung Merapi seolah-olah ‘menularkan’ diri pada gunung-gunung berapi lainnya, realitasnya tidaklah sedemikian karena semuanya masih berada dalam pola regional yang wajar. Kita boleh curiga telah terjadi sesuatu yang berpengaruh secara luas ketika jumlah gunung berapi yang aktivitasnya di atas normal melebihi angka 30 atau 40 gunung per tahun.

PVMBG menaikkan status Gunung Bromo secara beruntun pada Selasa 23 November 2010 lalu sehingga dalam sehari saja sudah loncat status dua tingkat, dari semula Waspada menjadi Siaga dan kemudian naik ke status tertinggi menjadi Awas. Mengapa demikian ? Alasannya cukup kuat, yakni peningkatan kegempaan dimana gempa vulkanik dalam dan dangkal menanjak pesat, demikian pula dengan gempa tremor. Peningkatan gempa tremor hingga polanya menjadi beruntun -mirip gempa tremor Gunung Merapi di awal November 2010- menggelisahkan mengingat inilah pertanda amat jelas bahwa magma di dalam perut bumi sedang berjejalan naik ke atas untuk mencari lubang pengeluarannya. Apalagi dalam sejarahnya Gunung Bromo suka serba mendadak: mendadak meletus dan mendadak pula berhenti (seperti kejadian letusan 2004).

BROMO from Penanjakan

Penghancuran Berulang

Gunung Bromo adalah sebuah kerucut vulkanis kecil setinggi 133 meter di atas keanggunan Segara Wedi (Lautan Pasir), dengan elevasi puncak 2.392 m dpl yang tumbuh di kawasan Pegunungan Tengger. Namun gunung kecil ini mewakili wajah aktivitas vulkanis setempat yang dalam sejarahnya telah merubah wajah Tengger secara dramatis dalam kurun 1,4 juta tahun terakhir. Ya, Pegunungan Tengger sejatinya adalah gunung purba berukuran raksasa dan telah hancur berulang kali oleh aktivitasnya. Aktivitas Gunung Bromo purba telah berlangsung sejak 1,4 +/- 0,2 juta tahun silam dengan terbentuknya Gunung Nongkojajar yang besar. Gunung ini diperkirakan sempat tumbuh berkembang hingga ketinggian 3.000 meter lebih atau hampir menyamai Gunung Semeru yang ada di sebelah selatannya. Namun pertumbuhan Gunung Nongkojajar berakhir ketika letusan paroksismal yang dahsyat (dalam skala VEI 6 atau 7) menghancurkan sebagian besar tubuh gunung sehingga membentuk kawah raksasa (kaldera) yang dikenal sebagai kaldera Nongkojajar.

Pasca peristiwa ini, di tengah kaldera Nongkojajar lahirlah gunung berapi Anak Nongkojajar atau lebih dikenal dengan Gunung Ngadisari. Gunung ini muncul sejak 822 +/- 90 ribu tahun silam. Dan gunung Ngadisari pun mengikuti proses tumbuh kembang bapaknya (anggap saja gunung-gunung ini berjenis kelamin laki-laki) sehingga ketika tubuhnya sudah demikian besar, letusan paroksismal kembali terjadi dan menghancurkannya hingga tinggal menyisakan kaldera yang dikenal sebagai kaldera Ngadisari.

Perjalanan waktu membuat proses serupa kembali terulang. Di tengah kaldera Ngadisari lahir dan tumbuh sang anak, yakni Anak Ngadisari (atau cucu Nongkojajar) yang kemudian lebih dikenal sebagai Gunung Tengger Tua. Gunung Tengger Tua muncul pada 265 +/- 40 ribu tahun lalu. Dalam proses selanjutnya, nampaknya kaldera Ngadisari pun melahirkan satu gunung berapi lagi, yakni Gunung Keciri. Namun kapan munculnya Gunung Keciri belum diketahui dengan pasti, yang jelas ia lebih muda dibanding Gunung Tengger Tua saudaranya. Kedua gunung bersaudara ini lantas hidup rukun, saling tumbuh dan membesar hingga akhirnya peristiwa yang menimpa kakek dan bapaknya terulang. Letusan paroksismal, kali ini melibatkan dua gunung secara langsung, menghancurkannya sehingga membentuk kaldera Keciri.

Lautan pasir seperti yang bisa kita saksikan saat ini di sekitar Gunung Bromo sebenarnya merupakan bagian dari kaldera Lautan Pasir. Kaldera ini terbentuk sebagai akibat letusan paroksismal Gunung Cemoro Lawang atau gunung Anak Keciri, yakni gunung baru yang muncul pasca terbentuknya kaldera Keciri. Gunung Cemoro Lawang diidentifikasi lahir pada 135 +/- 30 ribu tahun yang lalu. Dan seperti halnya kakek buyut, kakek dan bapaknya, gunung ini lantas tumbuh tinggi dan membesar sebelum akhirnya letusan paroksismal menghancurkan tubuhnya. Jadi Pegunungan Tengger yang mengelilingi Gunung Bromo saat ini pada hakikatnya merupakan sisa lereng dari gunung-gunung berapi generasi sebelumnya yang telah hancur akibat letusan-letusan paroksismal teramat dahsyat di masa silam. Seberapa dahsyat letusan-letusan itu? Van Bemmelen menuturkan, Kaldera Tengger memiliki luas keseluruhan 100 km persegi dengan lebar kaldera 10 km dan punya tanda-tanda pernah mengalami proses longsoran besar ke arah utara yang merupakan proses volkano-tektonik. Ini menunjukkan letusan-letusan paroksismal di masa silam memiliki kedahsyatan melebihi letusan Tambora 1815, karena hanya letusan berenergi sangat tinggi sajalah yang sanggup menghasilkan proses volkano-tektonik dan kaldera sangat besar.

Gunung Bayi yang Sedang Membangun

Melihat sejarahnya maka Gunung Bromo yang ada pada saat ini pada hakikatnya adalah gunung bayi/anak-anak yang sedang tumbuh di kaldera. Gunung Bromo adalah satu-satunya gunung di dalam kaldera Tengger yang masih aktif. Di sekitarnya terdapat sejumlah gunung bayi lain seperti Gunung Batok, Widodaren, Kursi dan Giri, namun hanya Bromo yang masih aktif. Pratomo (2006) menempatkan aktivitas Gunung Bromo saat ini sebagai aktivitas pasca-kaldera yang ditandai dengan pertumbuhan kerucut lava atau skoria atau cinder cone pada dasar kaldera. Karena posisi dapur magma pasca-kaldera relatif lebih dangkal dengan sistem yang terbuka, maka letusan-letusan pasca-kaldera tidak didahului akumulasi energi yang besar sehingga letusannya tergolong letusan kecil. Umumnya letusan yang terjadi adalah letusan eksplosif yang bersifat membangun seperti Strombolian (jika hanya mengeluarkan magma) atau Maar (jika magma berinteraksi dengan air bawah tanah). Periode letusan gunung berapi pasca-kaldera umumnya pendek, rata-rata 10 tahun sekali.

Klasifikasi tersebut memang pas bagi Gunung Bromo. Citra satelit memperlihatkan kawah Gunung Bromo saat ini cukup besar dibanding saudara-saudaranya yang lain di dalam kaldera Lautan Pasir, sebagai indikasi pernah terjadi letusan Maar di masa silam. Catatan Neumann van Padang memperlihatkan bahwa Gunung Bromo memang memiliki masa istirahat pendek di antara dua letusannya, yakni kurang dari setahun (yang terpendek) hingga 16 tahun (yang terpanjang) dengan skala letusan VEI 1 atau 2. Pola letusan Bromo pun sangat khas aktivitas pasca-kaldera, yakni menghembuskan gas dan debu vulkanik secara vertikal hingga ketinggian 1-1,5 km saja tanpa disertai terjangan awan panas maupun leleran lava. Gunung Bromo tak pernah memperlihatkan kecenderungan mengalami letusan lebih besar, seperti halnya Gunung Kelud maupun Merapi. Analisis endapan lava memperkuatnya, dimana kadar silikat Bromo adalah 51-52 % atau lebih kecil dibanding kadar silikat Merapi 2010 yang mencapai 57 %.

Dengan ciri-ciri demikian maka tak perlu khawatir dengan aktivitas Gunung Bromo saat ini. Gunung ini masih bayi, sehingga letusannya (yang sudah terjadi sejak Jumat 26 November 2010 lalu) tergolong letusan minor yang bersifat membangun tubuhnya. Dampak letusan-pembangun-tubuh hanya akan dirasakan di sekitar wilayah kaldera Lautan Pasir saja sehingga hanya wilayah tersebutlah yang harus dikosongkan dari aktivitas manusia. Memang terdapat perbedaan antara letusan 2004 dengan letusan 2010 ini. Pada letusan 2004, durasinya singkat dan hanya didominasi letusan freatik (akibat interaksi magma dengan air bawah tanah sehingga air membentuk uap bertekanan tinggi). Sementara pada letusan 2010 ini, PVMBG mengindikasikan akan ada perubahan ditandai dengan tingginya jumlah gempa vulkanik Bromo, sesuatu yang tidak muncul di tahun 2004. Selain itu pengukuran EDM dan tilt-meter mengindikasikan tubuh Gunung Bromo mengalami inflasi (penggelembungan), pertanda masuknya magma ke tubuh gunung. Maka dari itu letusan Bromo 2010 ini ada kecenderungan bersifat magmatik. Namun potensi letusan magmatik yang lebih besar (seperti halnya Merapi 2010) boleh dikata cukup kecil.